Rabu, 11 Agustus 2010




JANGAN BICARA SOAL KIAMAT !
Oleh : Ahmad Suyudi



Heboh Filem berjudul singkat “2012” menimbulkan banyak pembicaraan, terutama seputar tentang kiamat. Bahkan jauh-jauh hari sejak sebelum filem ini rampung diproduksi masyarakat sudah antusias menantikan peluncurannya, berharap bisa menyaksikan filem tentang peristiwa kiamat yang dahsyat dan mengerikan. Kini sejak 13 Nopember lalu filem tersebut sudah dapat dinikmati di gedung bioskop di Indonesia. Maka saksikanlah, biarkan diri Anda mengetahui apa sebenarnya yang hendak divisualisasikan oleh sutradara Roland Emmerich  yang juga pernah menggarap filem sejenis : The Day After Tomorrow  (2004 ) dan Independence Day (1996) ini.


“2012” bukan Kiamat
Sepanjang durasi hampir 158 menit, filem “2012” sebenarnya hanya berisi sebuah short story (cerpen) yang terinspirasi oleh putusnya kesinambungan kalender penanggalan suku bangsa Maya kuno, yang diperkirakan kebetulan hampir bertepatan dengan tanggal 12 Desember 2012. Pada hari itulah suatu peristiwa dahsyat sebuah armagedon yang mengerikan terjadi. Sebagian besar permukaan bumi hancur lebur, luluhlantak yang diakibatkan oleh meletusnya gunung-gunung berapi dan terjadinya proses patahan besar di dasar bumi. Kulit bumi menggelombang dan melipat, terbelah, pecah, mengiringi getaran hebat gempa yang luar biasa mengguncang dan menghancurkan gedung-gedung pencakar langit di California dan Los Angles, patung Kristus Sang Penebus Dosa yang terpancang kokoh di Rio Jeneiro, hancur berkeping-keping oleh badai dahsyat, bahkan Kapal Induk Raksasa USS John F. Kennedy milik Amerika Serikat tak mampu menahan hebatnya gelombang samudra dan terlempar ke daratan menimpa Gedung Putih, ribuan umat Katholik yang sedang berdoa di St. Peter’s Basilica Roma tewas bersama hancurnya gereja tersebut. Semua yang hancur lebur kemudian diterjang pula oleh gelombang Tsunami maha dahsyat. Kadahsyatan gelombang Tsunami itu digambarkan tidak hanya menggulung kota-kota besar modern di dunia melainkan juga menerobos jauh ribuan mil ke gunung-gunung dan lembah hingga Pegunungan Himalaya pun menjadi lautan air.  
Benarkah kiamat seperti itu? Mari kita hentikan bicara tentang kiamat kalau hanya sekadar mendasarkannya kepada prediksi “2012” dan bereferensi kepada ramalan terputusnya kalender penanggalan suku bangsa Maya itu, apalagi hanya setelah menyaksikan filem “2012”. 


Kiamat oleh ajaran Islam dipahami sebagai kemutlakan yang harus terjadi, namun hanya Allah Ta’ala yang menyimpan skenarionya. Al-Qur’an menyebutkan dalam banyak ayat mengenai kiamat, seperti apa peristiwanya di mana alam semesta diselubungi maut yang menakutkan, seperti apa tanda-tanda alam yang mendahuluinya, termasuk karakter semua manusia yang tengah mengalaminya pada waktu itu, tergantung kepada keimanan masing-masing, lalu bentuk kehidupan semacam apa yang bakal bertransformasi atas sekalian alam setelah hari kemudian, semua dijelaskan di dalam Qur’an. Namun kiamat tetap hanya Allah yang mengetahuinya. Di luar itu semua, hanyalah ramalan belaka!
Maka sebenarnya filem “2012” tidak menggambarkan kiamat. Sama sekali tidak. Apa yang diungkapkan oleh filem tersebut adalah sebuah peristiwa armagedon yang sangat dahsyat dialami oleh bumi. Sutradara dan penulis cerita berandai-andai (fictionility) dapat menyelamatkan manusia bumi dengan membangun wahana berupa kapal raksasa (mimesis Kapal Nabi Nuh) guna mengantisipasi kemusnahannya dari peristiwa dahsyat tersebut.
Substansi ceritanya sendiri tidak terlalu menarik dan unik, sebab cerita serupa sudah banyak diungkap misalnya dalam filem Knowing garapan Alex Proyas (2008). Hanya filem “2012” kebetulan saja memperoleh kecanggihan teknik pembuatannya yang sangat mutakhir. Spesial effect, sound effect, grafis effect, dan berbagai piranti lain yang mendukung terciptanya sebuah tontonan yang sangat mengagumkan ini.

***
Penulis adalah mantan guru tinggal di Depok













Kamis, 21 Januari 2010

Resensi Filem

Judul             :     KNOWING
Sutradara      :     Alex Proyas
Produksi       :     Summit Entertainment
Tahun           :     2009
Pemeran       :     Nicolas Cage, Chandler Canterbury
 
MENYATUKAN 
DUNIA SUPRANATURAL DENGAN SAINS 
 
oleh : Ahmad Suyudi Omar *)

KNOWING dibuka dengan prolog yang menarik sekali oleh sang Sutradara (Alex Proyas), lewat sebuah scean yang khas cerita misteri. Sesosok gadis cilik siswi sekolah dasar, berwajah aristokrat, manis, tapi roman mukanya menggambarkan kesedihan, pemurung, dan pendiam, berdiri menatap berlama-lama ke arah matahari yang sedang menyelinap di balik awan. Tak acuh, ia tak menghiraukan riuh rendahnya keramaian teman-teman yang sedang berlarian di pelataran sekolahnya. Matanya tetap memandangi matahari dengan tatapan yang aneh dan misterius. Bahkan ketika Bu Tylor  wali kelasnya memanggil-panggilnya karena lonceng masuk berbunyi, Lucinda Ambry nama gadis cilik itu, masih juga tak hirau.
Hari yang istimewa, kelas diisi dengan kegiatan siswa membuat karya kreatif yang mengungkapkan keinginan, cita-cita, atau visi masing-masing untuk masa 50 tahun ke depan. Ini sebagai kegiatan tingkat sekolah, dimana karya anak-anak tersebut bakal di simpan di dalam sebuah tempat bernama time capsul lalu dikubur di halaman sekolah secara aman. Dan kelak, 50 tahun yang akan datang, kapsul waktu itu akan dibuka dalam HUT ke-50 sekolah tersebut.
Sementara siswa lain membuat karangan, cerita, dan menggambar, apa yang dihasilkan oleh Lucinda adalah wujud yang aneh. Tanpa berkata-kata apapun dengan serius tapi seperti dicekam oleh rasa takut yang aneh, gadis cilik itu menuliskan barisan-barisan angka yang acak tanpa makna. Tentu saja Bu Guru Tylor heran menyaksikan karya Lucinda tersebut. Namun tanpa peduli diambilnya kertas kerja Lucinda yang berisi penuh deretan angka-angka acak tersebut dikumpulkan jadi satu dengan karya teman lainnya dimasukkan ke dalam time capsul.

***

Lima puluh tahun kemudian. Tibalah saatnya peringatan HUT ke-50 sekolah. Acara utama membuka kapsul waktu dilaksanakan. Bu Guru Tylor yang sudah renta dan sudah pensiun tentu saja, diundang dan diberi kehormatan membagikan karya-karya siswa angkatan pertamanya diserahkan kepada para siswa yang sekarang. Seorang siswa bernama Caleb (diperankan Chandler Canterbury) mendapatkan kertas berisi deretan angka-angka acak hasil tulisan Lucinda Ambry 50 tahun lalu. Dia tentu saja tak mengerti karya macam apa deretan angka-angka tanpa makna itu. Namun ada sesuatu yang aneh dirasakan olehnya pada saat membuka dan mengamati lembaran kertas yang pernah terkubur selama 50 tahun itu. Dilihatnya sekelebatan sesosok orang berdiri di kejauhan, menatap ke arah dirinya. Bersamaan dengan itu telinganya berdengung dirasakan seperti ada suara berbisik yang aneh.


Ternyata dahulu pada masanya, tak seorang pun pernah menyangka dan mengetahui kalau Lucinda kecil adalah seorang anak yang telah mendapat karunia, semacam talenta atau kemampuan linuwih (super). Kemampuan linuwih itu yakni mengetahui secara futuristik sesuatu tragedi yang bakal terjadi di masa mendatang. Lucinda sendiri tidak pernah tahu sebelumnya, karena yang seringkali dirasakannya hanya telinganya mendengar suara bisikan secara gaib. Dan apa yang didengar dari bisikan-bisikan gaib tersebut hanya mampu diterjemahkannya ke dalam kode-kode angka Di mana pun dirinya menemukan sarana untuk menuliskannya, termasuk ketika ia mendapat tugas mengarang, terpaksa harus menuliskannya dalam wujud deretan-deratan angka. Dan ketika aktivitasnya itu harus terhenti karena kertasnya segera ditarik oleh Bu Guru Tylor, dia berlari menyembunyikan diri dengan rasa takutnya ke dalam sebuah kamar bawah tanah sekolahnya, hanya demi untuk mengejawantahkan bisikan-bisikan yang dirasa terus menyiksanya itu. Bagaikan kesurupan gadis cilik itu menggaruk-garukkan jemari tangannya hingga berdarah di daun pintu kamar bawah tanah untuk menuliskan bisikan-bisikan gaib. Dia diketemukan oleh gurunya yang hingga harus menngerahkan polisi untuk mencari ke mana perginya Lucinda Ambry.
***


Kita mengetahui dunia supranatural mengenal kekuatan-kekuatan gaib yang sering menyertai atau menempati suatu benda keramat atau bahkan jiwa seseorang. Ada yang menyebutnya khodam, ada yang menyebutnya penunggu, dsb. Khodam yang bersifat baik, bisa jadi dipercaya sebagai malaikat, yang sering diyakini mampu melindungi, memperingatkan, atau memberi firasat-firasat tertentu kepada orang yang diikutinya agar bisa menghindarkan diri dari malapetaka dan ancaman.

Inilah yang tertangkap di dalam Knowing, filem berkatagori sciens fiction yang diproduksi Summit Entertainment tahun 2009. Mereka (para kreator filem ini) ternyata menangkap pengetahuan dunia supranatural tersebut. Mereka menerjemahkan khodam tersebut dengan gambaran sosok manusia laki-laki, yang datang dan pergi, muncul dan menghilang begitu cepat dan tak terduga. Pada keadaan dan situasi tertentu, sosok-sosok gaib khodam ini berubah wujud menjadi cahaya. Ini jelas sekali, idenya adalah meng-imajinasi-kan makhluk malaikat. Makhluk-makhluk gaib inilah yang akhirnya diketahui ngamping-ampingi (mendampingi, mengikuti, membayangi, dan menguntit) terus ke mana saja perginya Caleb, bocak cilik yang mendapatkan selembar kertas berisi kode-kode angka hasil tulisan Lucinda. Rupanya apa yang dulu dialami oleh Lucinda, kini menular dan dialami juga oleh Caleb. Logikanya perpindahan khodam itu adalah melalui kertas wasiat tersebut.
Adalah John Koestler ayah Caleb yang kemudian kepincut kepada angka-angka aneh pada kertas tersebut. Sebagai seorang profesor dan peneliti yang selalu bekerja dengan dasar ilmiah yang logis-empiris dia menemukan ada semacam sinkronisasi dari kode-kode angka itu dengan peristiwa-peristiwa tragedi besar yang telah pernah terjadi di dunia. Bahkan kemudian angka-angka yang merujuk kepada tanggal, bulan, tahun, dan titik-titik kordinat lokasi kejadian itu mampu dibuktikannya sendiri. Di tengah kesibukannya meneliti dan ingin membuktikan rahasia kode-kode mistik itu John Koestler sempat terjebak dan menyaksikan sebuah tragedi jatuhnya pesawat terbang yang memakan banyak korban persis di depan mata dan kepalanya sendiri. 
Shock dan rasa penasaran yang bercampur aduk semakin membuatnya ingin terus meneliti angka-angka nujum tersebut. Dia mulai merasa ada semacam tanggung jawab besar yang harus dilakukan setelah menyadari kebenaran dari angka-angka nujum itu. Bahwa dirinya mengetahui sesuatu tragedi bakal terjadi dan perlu bertindak. Setidaknya harus ada korban yang diselamatkan dari tragedi besar yang bakal terjadi.


Dari sinilah cerita terus bergerak. Profesor Koestler mulai dihantui rasa khawatir dan takut terhadap Caleb anak tercintanya yang sementara itu mulai sering didatangi makhluk-makhluk gaib yang selalu memberi bisikan di telinganya. Setelah mendapatkan informasi tentang latar belakang kehidupan Lucinda, ditambah lagi pertemuannya dengan Diana anak Lucinda, John Koestler semakin yakin bahwa deretan-deretan angka yang ditulis oleh penujum cilik itu adalah kode pengetahuan tentang tragedi yang telah dan bakal terjadi selama kurun waktu lima puluh tahun terakhir ini. Bahwa Lucinda ternyata seorang ahli nujum yang semua prediksinya telah dapat dibuktikan.


Apa yang dialami oleh Caleb ternyata juga dialami oleh Abby, anak Diana alias cucu si ahli nujum Lucinda. Abby bahkan lebih dulu mengalaminya. Hal ini bisa terjadi karena Abby adalah keturunan Lucinda. Sementara itu Diana sendiri yang keturunan langsung dari Lucinda justru tidak memiliki kemampuan tersebut. Barangkali karena sejak kecil Diana memang tidak pernah percaya tehadap Lucinda. Diana terlanjur menganggap ibunya itu sakit dan tidak waras. Bahkan sejak remaja ia mengikuti ayahnya meninggalkan Lucinda yang hidup sendiri. Beberapa peristiwa yang dibuktikan oleh John Koestler, Diana belum sepenuhnya percaya. Hingga nujum tentang kematiannya sendiri yang sering diucapkan oleh Lucinda, hanya sempat membuatnya stress belaka. Dan akhirnya Diana yang tidak bisa dicegah oleh John Koestler, harus menemui ajalnya secara tragis, tepat pada waktu dan TKP (posisi) yang telah diketahui benar oleh John Koestler.


Semua realitas yang ditemui oleh John Koestler, akhirnya membawa dirinya kepada kesadaran agamis yang selama ini menjadi kontradiktif di benaknya. Setelah dengan jelas dia ditunjukkan langsung oleh Abby di atas secarik kertas tentang matahari yang melahap bumi, hawa panas menyembur dan membakar bumi, John Koestler membuka file di laboratorium penelitiannya semua penemuan ilmiah mengenai orbit bumi yang mendekat ke matahari, serta semburan hawa panas dari matahari, sebuah prediksi ilmiah yang tak dapat disangkal lagi. Dengan berat hati dan tak mampu mengelak, dia harus melepaskan Caleb putra satu-satunya yang sudah lama ditinggal mati ibunya itu untuk dijemput bersama-sama dengan Abby oleh para makhluk gaib (malaikat) yang selama ini ternyata bukan mengganggu mereka, melainkan justru sebaliknya senantiasa melindungi Caleb dan Abby. Sepasang anak-anak yang masih polos dipilih untuk dijemput dan dibawa ke alam lain (kematian) dengan indah. Inilah gambaran kematian yang baik. Kematian yang indah. Kematian ideal yang dirindukan oleh orang-orang suci, para nabi, sufi, dan wali. Bukan kematian yang menyiksa dan menyakitkan melalui tragedi.


Tidak hanya sampai di situ. John Koestler akhirnya rela pulang ke rumah ayahnya yang seorang pastur. Ini benar-benar menjadi sebuah simbolisasi yang lengkap tentang kembalinya seorang anak yang selama ini menolak ke-iman-an. Hari itulah, ketika semua manusia di muka bumi ketakutan yang teramat hebat, berlari tunggang langgang berupaya menyelematkan diri, John Koestler dan keluarganya dengan ikhlas berangkulan berpelukan bersiap menerima sebuah peristiwa tragedi paling besar di jagat raya ini, kiamat! Bumi dihancurkan oleh api. Tak meninggalkan satu pun organisme yang tersisa.


Pada bagian akhir begitu indahnya ending dari filem ini dibuat, yakni diakhiri dengan gambaran panorama “alam lain” yang mempesona, yang barangkali inilah visualisasi dari alam surga. Sepasang bocah yang polos bersih, innocent, Caleb dan Abby, dengan suka cita berlarian menghampiri  sesosok pohon besar  yang rimbun dan indah. Pohon Kehidupan. Di sinilah ternyata sejatinya hidup baru sedang di mulai.


*) penulis mantan guru tinggal di Depok


***




Kamis, 11 Desember 2008

LASKAR PELANGI

Cuplikan Narasi Dunia Pendidikan Kita yang Mengharukan
oleh Ahmad Suyudi Omar *)

         Beruntung kita hidup di zaman sekarang, tepatnya tahun 2008. Sepenggal zaman di mana berbagai fasilitas hidup serba ada, serba moderen, dan mudah didapati. Kini berbagai sarana yang mempermudah hidup kita telah tersedia. Televisi, alat komunikasi telepon, telepon seluler, koran, dan majalah serta bermacam ragam buku bacaan banyak tersedia dan mudah didapatkan. Bahkan sistim komunikasi tercanggih yang tidak terbatasi oleh ruang dan waktu: bernama internet, meskipun masih terbatas jumlahnya, dapat dinikmati oleh banyak sekolah dari SD sampai SMA. Sekolah, paling tidak tingkat pendidikan dasar dapat dipenuhi oleh pemerintah kita melalui program yang bernama Wajib Belajar 9 Tahun. Berbagai kemudahan untuk meningkatkan layanan akses pendidikan kepada seluruh warga masyarakat negeri ini terus ditingkatkan oleh pemerintah. Berbagai sarana dan prasarana untuk menunjang peningkatan mutu proses dan hasil pendidikan pun terus ditingkatkan. Upaya peningkatan pembangunan pendidikan terus-menerus dan tak boleh berhenti dilaksanakan oleh pemerintah demi pemenuhan atas hak pendidikan warganya.

          Namun dua atau tiga dekade yang lalu ternyata keadaan dunia pendidikan kita sangat mengenaskan. Mengharukan. Banyak sarana dan prasarana pendidikan terutama di pelosok-pelosok daerah yang sulit terjangkau dengan sarana komunikasi dan terpencil nampaknya kurang bahkan tidak memperoleh perhatian dari pemerintah pusat. Fakta itu tergambar dalam kisah pengalaman (pribadi) yang diramu dengan apik dan menyentuh perasaan kita lewat sebuah novel berjudul Laskar Pelangi yang ditulis oleh Andrea Hirata dan kemudian diangkat ke layar lebar dengan judul yang sama. Keadaan seperti itu bisa jadi mewakili sekian banyak fakta yang sebanrnya terjadi di negeri ini.

          Menyaksikan filem Laskar Pelangi adalah menyaksikan ketidakadilan perolehan hak untuk pendidikan bagi anak-anak desa yang tidak mampu. Betapa tidak. Sebuah sekolah dasar yang melarat tanpa sarana dan prasarana yang memadai bertekad mempertahankan diri untuk tetap menyelenggarakan proses pendidikan bagi sepuluh orang murid miskin hanya karena terdorong oleh sebuah motivasi yakni: meningkatkan harkat dan martabat kemanusiaan. Sementara itu tak jauh bersebelahan dengan pekarangan sekolah miskin itu berdiri pula lembaga pendidikan milik sebuah perusahaan negara dengan berbagai fasilitas yang memadai, dan memungkinkan untuk para peserta didiknya dapat maju dan mampu belajar dengan baik.

          Digambarkan dengan sangat kontradiktif: ketika pada awal pelajaran matematika seorang guru di SD orang-orang kaya itu memperkenalkan lalu membagikan mesin hitung bernama kalkulator kepada murid-muridnya, sementara di sekolah melarat yang hanya bermurid sepuluh anak, mereka sedang berebut lidi sebagai alat bantu hitung.

         Ketimpangan yang sangat nyata tergambar pada deskripsi yang sangat indah dan menyentuh perasaan siapa pun yang menyaksikannya. Itu fakta dunia pendidikan pada dua-tiga dekade yang lalu di negeri kita. Bahwa kemalaratan sarana pendidikan telah memusnahkan cita-cita luhur anak-anak negeri ini yang sangat berpotensi. Beberapa anak berotak cerdas bahkan terbilang unggul dan jenius harus pupus harapan mereka oleh tidakberdayaannya keadaan. Keadaan telah mematikan potensi kecerdasan dan kreativitas mereka. Kekayaan negera tak mampu menyentuh nasib putra-putri negeri anak-anak petani, nelayan, dan buruh tambang yang melarat dan sengsara.

          Inilah yang dapat kita tangkap dari kisah anak-anak Laskar Pelangi, di samping spirit anak-anak itu dalam berupaya belajar dan menimba ilmu dari ibu guru mereka yang dengan sabar dan tanpa pamrih memberi pendidikan kepada anak-anak asuhnya. Sebuah pelajaran yang bagus kepada kita yang secara kebetulah beroleh keberuntungan dapat mengenyam kemajuan zaman kini.


***

*) penulis mantan guru tinggal di Depok

Jumat, 25 Juli 2008

FILEM HOROR KITA MENJIJIKKAN?

Oleh : * Ahmad Suyudi

FILEM horror Indonesia tidak lagi memberikan gigitan yang berarti karena filem horor kita bukanlah filem horor yang menakutkan dan mampu menggetarkan jantung setiap penontonnya, melainkan hanya menjijikkan dan menggelikan belaka. Kenyataan ini dikarena filem horor kita terlalu banyak mengeksploitasi cara-cara pembunuhan yang keji dan irasional (absurd) serta warna darah yang terlalu dominan tetapi kurang wajar. Keadaan yang memperparah yakni adanya bumbu seks yang berlebihan pula, sehingga justru mendominasi hampir semua adegan filem horror kita. Esensi horror itu sendiri akhirnya menguap.

Berbeda dengan filem-filem honor buatan Amerika, meskipun memiliki dasar cerita yang kadang sudah klise, penggarapan dan pengolahan plot serta penerapan trik-trik canggih (tetapi wajar) mampu menyeret penonton kepada rasa penasaran hingga akhir cerita. Inilah sebenarnya kunci utama dari setiap penggarapan cerita, tak terkecuali visualisasi di dalam karya sinematografi. Bagaimana caranya membawa setiap penonton tidak lekas bosan dan dengan begitu muda mampu menerka secara tepat akhir dari sebuah alur cerita yang disajikan.

Filem-filem horor yang dikombinasi dengan fiksi ilmiah terutama, selain ide-ide baru substansi ceritanya ditambah dengan pemanfaatan teknologi canggih untuk memperoleh trik-trik yang brilian serta pengolahan plot (alur cerita)nya mampu menyedot energi penonton yang harus secara marathon mengikuti setiap adegan mendebarkan jantung, harus pula mengolah pikir untuk memahami jalan ceritanya.

Perbedaan lain yang sangat mencolok antara filem horor kita dengan filem-filem impor adalah adanya kebaruan ide yang bermunculan dan trik-trik canggih. Filem SHOKER yang disutradarai Wes craven penulis jadikan contoh. Filem jenis horor ini nyari sempurna. Sejak awal sampai akhir cerita penonton tidak diberi kesempatan sedikit pun berlega hati, senantiasa dicekam terror-teror yang mendebarkan jantung. Tempo ritme antara scen satu dengan yang lainnya begitu cepat membuat penonton terpaksa harus ‘ngos-ngosan’ mengikuti gerak alur cerita.

Ide ceritanya yang mendasari Shoker sebenarnya cenderung berbau mistis-takhayul, yakni tentang kematian yang tidak wajar dan balas dendam. Gagasan cerita klise seperti ini banyak digarap oleh sutradara-sutradara lain, tak terkecuali juga para sineas kita. Namun kebaruan segi penggarapan serta penyelesaian konflik dan ketegangan cerita tidak diselesaikan lewat campur tangan seorang saint/pendeta atau santri/kyai seperti kebanyakan filem mistis-takhayul lain. Penyelesaian konflik yang akhirnya menjadi ending cerita dibuat lebih rasional, meskipun akhirnya juga sebetulnya absurd dan irasional, apalagi setting ceritanya adalah kehidupan masyarakat moderen.

Dominasi warna merah darah di dalam filem ini nampak tidak mengada-ada karena kemunculannya semua ditautkan pada hubungan sebab akibat yang logis akibat dari polah dendam orang biadab yang dilatari oleh stress jiwa yang hebat. Lalu adegan-adegan seks (porno) tidak mendapat tempat sama sekali di dalamnya.

Horor Indonesia

Bila kita membandingkan dengan filem-filem horor kita yang belakangan menjamur keadaanya akan sangat berbeda. Bagaimana dapat kita menerima dengan akal ’sesosok’ setan seperti Nyai Roro Kidul yang konon penguasa atau Ratu Pantai Selatan itu membantai habis orang-orang yang dimurkai dan dimusuhinya secara keji dan sadis (filem: Pembalasan Ratu Pantai Selatan). Tidak dapatkah realistas mistis dan takhyul digarap dengan lebih logis dan rasional? Pernah adakah iblis atau roh jahat yang gentayangan dan memburu manusia dengan nyata, terlihat, bahkan dapat dihadapi saling beradu fisik antara keduanya yang beda golongan dan beda alam?

Adanya kebaruan gagasan cerita seperti kita lihat dalam filem-filem produksi luar negeri itu pun tentu membutuhkan adanya unsur-unsur yang baru pula. Filem horor dengan latar cerita fiksi ilmiah telah banyak menggunakan setting cerita luar angkasa atau cerita yang ditempatkan pada masa pasca perang nuklir, seperti dalam filem Aliens (Sirgouney Weaver) dan filem Terminator (Arnold Schwazzerneger). Gagasan seperti ini memang belum memungkinkan untuk digarap oleh para sineas kita nampaknya, mengingat keterbatasan teknologi dan biaya produksi. Namun keterbatasan teknologi tidak harus menjadi penyebab kita terus menerus berkutat dengan cerita-cerita mistis-takhayul yang sudah klise dan tersebar luas di masyarakat. Belasan judul filem dengan latar belakang cerita sama digarap dengan judul yang berbeda. Entah sudah berapa judul filem menggarap legenda mitos Nyai Roro Kidul, yang sebenarnya secara substansial bukan sesuatu yang asing dan baru bagi kita.

Keadaan ini lebih diperparah lagi oleh munculnya gejala yang sedang berkembang yakni kecenderungan mengerjakan filem bersambung dengan mengadopsi cerita serial atau bersambung dari sandiwara radio. Apa yang dapat diperoleh penonton dari filem-filem semacam itu, kecuali hanya ingin menyaksikan seperti apa sih wajah ’Nenek Lampir’, disamping ingin melihat adegan-adegan syur yang membubuhi jalan ceritanya.

Kalau kondisi seperti ini terus dibiarkan, filem horor tidak lagi mampu memberi sesuatu yang baru bagi penontonnya. Dan akhirnya filem horor hanya akan menjadi filem sesk belaka dengan mengeksploitasi adegan-adegan seks yang berlebihan dan tidak lagi menggetarkan karena ceritanya sudah terlalu klise!



***