Jumat, 25 Juli 2008

FILEM HOROR KITA MENJIJIKKAN?

Oleh : * Ahmad Suyudi

FILEM horror Indonesia tidak lagi memberikan gigitan yang berarti karena filem horor kita bukanlah filem horor yang menakutkan dan mampu menggetarkan jantung setiap penontonnya, melainkan hanya menjijikkan dan menggelikan belaka. Kenyataan ini dikarena filem horor kita terlalu banyak mengeksploitasi cara-cara pembunuhan yang keji dan irasional (absurd) serta warna darah yang terlalu dominan tetapi kurang wajar. Keadaan yang memperparah yakni adanya bumbu seks yang berlebihan pula, sehingga justru mendominasi hampir semua adegan filem horror kita. Esensi horror itu sendiri akhirnya menguap.

Berbeda dengan filem-filem honor buatan Amerika, meskipun memiliki dasar cerita yang kadang sudah klise, penggarapan dan pengolahan plot serta penerapan trik-trik canggih (tetapi wajar) mampu menyeret penonton kepada rasa penasaran hingga akhir cerita. Inilah sebenarnya kunci utama dari setiap penggarapan cerita, tak terkecuali visualisasi di dalam karya sinematografi. Bagaimana caranya membawa setiap penonton tidak lekas bosan dan dengan begitu muda mampu menerka secara tepat akhir dari sebuah alur cerita yang disajikan.

Filem-filem horor yang dikombinasi dengan fiksi ilmiah terutama, selain ide-ide baru substansi ceritanya ditambah dengan pemanfaatan teknologi canggih untuk memperoleh trik-trik yang brilian serta pengolahan plot (alur cerita)nya mampu menyedot energi penonton yang harus secara marathon mengikuti setiap adegan mendebarkan jantung, harus pula mengolah pikir untuk memahami jalan ceritanya.

Perbedaan lain yang sangat mencolok antara filem horor kita dengan filem-filem impor adalah adanya kebaruan ide yang bermunculan dan trik-trik canggih. Filem SHOKER yang disutradarai Wes craven penulis jadikan contoh. Filem jenis horor ini nyari sempurna. Sejak awal sampai akhir cerita penonton tidak diberi kesempatan sedikit pun berlega hati, senantiasa dicekam terror-teror yang mendebarkan jantung. Tempo ritme antara scen satu dengan yang lainnya begitu cepat membuat penonton terpaksa harus ‘ngos-ngosan’ mengikuti gerak alur cerita.

Ide ceritanya yang mendasari Shoker sebenarnya cenderung berbau mistis-takhayul, yakni tentang kematian yang tidak wajar dan balas dendam. Gagasan cerita klise seperti ini banyak digarap oleh sutradara-sutradara lain, tak terkecuali juga para sineas kita. Namun kebaruan segi penggarapan serta penyelesaian konflik dan ketegangan cerita tidak diselesaikan lewat campur tangan seorang saint/pendeta atau santri/kyai seperti kebanyakan filem mistis-takhayul lain. Penyelesaian konflik yang akhirnya menjadi ending cerita dibuat lebih rasional, meskipun akhirnya juga sebetulnya absurd dan irasional, apalagi setting ceritanya adalah kehidupan masyarakat moderen.

Dominasi warna merah darah di dalam filem ini nampak tidak mengada-ada karena kemunculannya semua ditautkan pada hubungan sebab akibat yang logis akibat dari polah dendam orang biadab yang dilatari oleh stress jiwa yang hebat. Lalu adegan-adegan seks (porno) tidak mendapat tempat sama sekali di dalamnya.

Horor Indonesia

Bila kita membandingkan dengan filem-filem horor kita yang belakangan menjamur keadaanya akan sangat berbeda. Bagaimana dapat kita menerima dengan akal ’sesosok’ setan seperti Nyai Roro Kidul yang konon penguasa atau Ratu Pantai Selatan itu membantai habis orang-orang yang dimurkai dan dimusuhinya secara keji dan sadis (filem: Pembalasan Ratu Pantai Selatan). Tidak dapatkah realistas mistis dan takhyul digarap dengan lebih logis dan rasional? Pernah adakah iblis atau roh jahat yang gentayangan dan memburu manusia dengan nyata, terlihat, bahkan dapat dihadapi saling beradu fisik antara keduanya yang beda golongan dan beda alam?

Adanya kebaruan gagasan cerita seperti kita lihat dalam filem-filem produksi luar negeri itu pun tentu membutuhkan adanya unsur-unsur yang baru pula. Filem horor dengan latar cerita fiksi ilmiah telah banyak menggunakan setting cerita luar angkasa atau cerita yang ditempatkan pada masa pasca perang nuklir, seperti dalam filem Aliens (Sirgouney Weaver) dan filem Terminator (Arnold Schwazzerneger). Gagasan seperti ini memang belum memungkinkan untuk digarap oleh para sineas kita nampaknya, mengingat keterbatasan teknologi dan biaya produksi. Namun keterbatasan teknologi tidak harus menjadi penyebab kita terus menerus berkutat dengan cerita-cerita mistis-takhayul yang sudah klise dan tersebar luas di masyarakat. Belasan judul filem dengan latar belakang cerita sama digarap dengan judul yang berbeda. Entah sudah berapa judul filem menggarap legenda mitos Nyai Roro Kidul, yang sebenarnya secara substansial bukan sesuatu yang asing dan baru bagi kita.

Keadaan ini lebih diperparah lagi oleh munculnya gejala yang sedang berkembang yakni kecenderungan mengerjakan filem bersambung dengan mengadopsi cerita serial atau bersambung dari sandiwara radio. Apa yang dapat diperoleh penonton dari filem-filem semacam itu, kecuali hanya ingin menyaksikan seperti apa sih wajah ’Nenek Lampir’, disamping ingin melihat adegan-adegan syur yang membubuhi jalan ceritanya.

Kalau kondisi seperti ini terus dibiarkan, filem horor tidak lagi mampu memberi sesuatu yang baru bagi penontonnya. Dan akhirnya filem horor hanya akan menjadi filem sesk belaka dengan mengeksploitasi adegan-adegan seks yang berlebihan dan tidak lagi menggetarkan karena ceritanya sudah terlalu klise!



***