Kamis, 11 Desember 2008

LASKAR PELANGI

Cuplikan Narasi Dunia Pendidikan Kita yang Mengharukan
oleh Ahmad Suyudi Omar *)

         Beruntung kita hidup di zaman sekarang, tepatnya tahun 2008. Sepenggal zaman di mana berbagai fasilitas hidup serba ada, serba moderen, dan mudah didapati. Kini berbagai sarana yang mempermudah hidup kita telah tersedia. Televisi, alat komunikasi telepon, telepon seluler, koran, dan majalah serta bermacam ragam buku bacaan banyak tersedia dan mudah didapatkan. Bahkan sistim komunikasi tercanggih yang tidak terbatasi oleh ruang dan waktu: bernama internet, meskipun masih terbatas jumlahnya, dapat dinikmati oleh banyak sekolah dari SD sampai SMA. Sekolah, paling tidak tingkat pendidikan dasar dapat dipenuhi oleh pemerintah kita melalui program yang bernama Wajib Belajar 9 Tahun. Berbagai kemudahan untuk meningkatkan layanan akses pendidikan kepada seluruh warga masyarakat negeri ini terus ditingkatkan oleh pemerintah. Berbagai sarana dan prasarana untuk menunjang peningkatan mutu proses dan hasil pendidikan pun terus ditingkatkan. Upaya peningkatan pembangunan pendidikan terus-menerus dan tak boleh berhenti dilaksanakan oleh pemerintah demi pemenuhan atas hak pendidikan warganya.

          Namun dua atau tiga dekade yang lalu ternyata keadaan dunia pendidikan kita sangat mengenaskan. Mengharukan. Banyak sarana dan prasarana pendidikan terutama di pelosok-pelosok daerah yang sulit terjangkau dengan sarana komunikasi dan terpencil nampaknya kurang bahkan tidak memperoleh perhatian dari pemerintah pusat. Fakta itu tergambar dalam kisah pengalaman (pribadi) yang diramu dengan apik dan menyentuh perasaan kita lewat sebuah novel berjudul Laskar Pelangi yang ditulis oleh Andrea Hirata dan kemudian diangkat ke layar lebar dengan judul yang sama. Keadaan seperti itu bisa jadi mewakili sekian banyak fakta yang sebanrnya terjadi di negeri ini.

          Menyaksikan filem Laskar Pelangi adalah menyaksikan ketidakadilan perolehan hak untuk pendidikan bagi anak-anak desa yang tidak mampu. Betapa tidak. Sebuah sekolah dasar yang melarat tanpa sarana dan prasarana yang memadai bertekad mempertahankan diri untuk tetap menyelenggarakan proses pendidikan bagi sepuluh orang murid miskin hanya karena terdorong oleh sebuah motivasi yakni: meningkatkan harkat dan martabat kemanusiaan. Sementara itu tak jauh bersebelahan dengan pekarangan sekolah miskin itu berdiri pula lembaga pendidikan milik sebuah perusahaan negara dengan berbagai fasilitas yang memadai, dan memungkinkan untuk para peserta didiknya dapat maju dan mampu belajar dengan baik.

          Digambarkan dengan sangat kontradiktif: ketika pada awal pelajaran matematika seorang guru di SD orang-orang kaya itu memperkenalkan lalu membagikan mesin hitung bernama kalkulator kepada murid-muridnya, sementara di sekolah melarat yang hanya bermurid sepuluh anak, mereka sedang berebut lidi sebagai alat bantu hitung.

         Ketimpangan yang sangat nyata tergambar pada deskripsi yang sangat indah dan menyentuh perasaan siapa pun yang menyaksikannya. Itu fakta dunia pendidikan pada dua-tiga dekade yang lalu di negeri kita. Bahwa kemalaratan sarana pendidikan telah memusnahkan cita-cita luhur anak-anak negeri ini yang sangat berpotensi. Beberapa anak berotak cerdas bahkan terbilang unggul dan jenius harus pupus harapan mereka oleh tidakberdayaannya keadaan. Keadaan telah mematikan potensi kecerdasan dan kreativitas mereka. Kekayaan negera tak mampu menyentuh nasib putra-putri negeri anak-anak petani, nelayan, dan buruh tambang yang melarat dan sengsara.

          Inilah yang dapat kita tangkap dari kisah anak-anak Laskar Pelangi, di samping spirit anak-anak itu dalam berupaya belajar dan menimba ilmu dari ibu guru mereka yang dengan sabar dan tanpa pamrih memberi pendidikan kepada anak-anak asuhnya. Sebuah pelajaran yang bagus kepada kita yang secara kebetulah beroleh keberuntungan dapat mengenyam kemajuan zaman kini.


***

*) penulis mantan guru tinggal di Depok