Kamis, 21 Januari 2010

Resensi Filem

Judul             :     KNOWING
Sutradara      :     Alex Proyas
Produksi       :     Summit Entertainment
Tahun           :     2009
Pemeran       :     Nicolas Cage, Chandler Canterbury
 
MENYATUKAN 
DUNIA SUPRANATURAL DENGAN SAINS 
 
oleh : Ahmad Suyudi Omar *)

KNOWING dibuka dengan prolog yang menarik sekali oleh sang Sutradara (Alex Proyas), lewat sebuah scean yang khas cerita misteri. Sesosok gadis cilik siswi sekolah dasar, berwajah aristokrat, manis, tapi roman mukanya menggambarkan kesedihan, pemurung, dan pendiam, berdiri menatap berlama-lama ke arah matahari yang sedang menyelinap di balik awan. Tak acuh, ia tak menghiraukan riuh rendahnya keramaian teman-teman yang sedang berlarian di pelataran sekolahnya. Matanya tetap memandangi matahari dengan tatapan yang aneh dan misterius. Bahkan ketika Bu Tylor  wali kelasnya memanggil-panggilnya karena lonceng masuk berbunyi, Lucinda Ambry nama gadis cilik itu, masih juga tak hirau.
Hari yang istimewa, kelas diisi dengan kegiatan siswa membuat karya kreatif yang mengungkapkan keinginan, cita-cita, atau visi masing-masing untuk masa 50 tahun ke depan. Ini sebagai kegiatan tingkat sekolah, dimana karya anak-anak tersebut bakal di simpan di dalam sebuah tempat bernama time capsul lalu dikubur di halaman sekolah secara aman. Dan kelak, 50 tahun yang akan datang, kapsul waktu itu akan dibuka dalam HUT ke-50 sekolah tersebut.
Sementara siswa lain membuat karangan, cerita, dan menggambar, apa yang dihasilkan oleh Lucinda adalah wujud yang aneh. Tanpa berkata-kata apapun dengan serius tapi seperti dicekam oleh rasa takut yang aneh, gadis cilik itu menuliskan barisan-barisan angka yang acak tanpa makna. Tentu saja Bu Guru Tylor heran menyaksikan karya Lucinda tersebut. Namun tanpa peduli diambilnya kertas kerja Lucinda yang berisi penuh deretan angka-angka acak tersebut dikumpulkan jadi satu dengan karya teman lainnya dimasukkan ke dalam time capsul.

***

Lima puluh tahun kemudian. Tibalah saatnya peringatan HUT ke-50 sekolah. Acara utama membuka kapsul waktu dilaksanakan. Bu Guru Tylor yang sudah renta dan sudah pensiun tentu saja, diundang dan diberi kehormatan membagikan karya-karya siswa angkatan pertamanya diserahkan kepada para siswa yang sekarang. Seorang siswa bernama Caleb (diperankan Chandler Canterbury) mendapatkan kertas berisi deretan angka-angka acak hasil tulisan Lucinda Ambry 50 tahun lalu. Dia tentu saja tak mengerti karya macam apa deretan angka-angka tanpa makna itu. Namun ada sesuatu yang aneh dirasakan olehnya pada saat membuka dan mengamati lembaran kertas yang pernah terkubur selama 50 tahun itu. Dilihatnya sekelebatan sesosok orang berdiri di kejauhan, menatap ke arah dirinya. Bersamaan dengan itu telinganya berdengung dirasakan seperti ada suara berbisik yang aneh.


Ternyata dahulu pada masanya, tak seorang pun pernah menyangka dan mengetahui kalau Lucinda kecil adalah seorang anak yang telah mendapat karunia, semacam talenta atau kemampuan linuwih (super). Kemampuan linuwih itu yakni mengetahui secara futuristik sesuatu tragedi yang bakal terjadi di masa mendatang. Lucinda sendiri tidak pernah tahu sebelumnya, karena yang seringkali dirasakannya hanya telinganya mendengar suara bisikan secara gaib. Dan apa yang didengar dari bisikan-bisikan gaib tersebut hanya mampu diterjemahkannya ke dalam kode-kode angka Di mana pun dirinya menemukan sarana untuk menuliskannya, termasuk ketika ia mendapat tugas mengarang, terpaksa harus menuliskannya dalam wujud deretan-deratan angka. Dan ketika aktivitasnya itu harus terhenti karena kertasnya segera ditarik oleh Bu Guru Tylor, dia berlari menyembunyikan diri dengan rasa takutnya ke dalam sebuah kamar bawah tanah sekolahnya, hanya demi untuk mengejawantahkan bisikan-bisikan yang dirasa terus menyiksanya itu. Bagaikan kesurupan gadis cilik itu menggaruk-garukkan jemari tangannya hingga berdarah di daun pintu kamar bawah tanah untuk menuliskan bisikan-bisikan gaib. Dia diketemukan oleh gurunya yang hingga harus menngerahkan polisi untuk mencari ke mana perginya Lucinda Ambry.
***


Kita mengetahui dunia supranatural mengenal kekuatan-kekuatan gaib yang sering menyertai atau menempati suatu benda keramat atau bahkan jiwa seseorang. Ada yang menyebutnya khodam, ada yang menyebutnya penunggu, dsb. Khodam yang bersifat baik, bisa jadi dipercaya sebagai malaikat, yang sering diyakini mampu melindungi, memperingatkan, atau memberi firasat-firasat tertentu kepada orang yang diikutinya agar bisa menghindarkan diri dari malapetaka dan ancaman.

Inilah yang tertangkap di dalam Knowing, filem berkatagori sciens fiction yang diproduksi Summit Entertainment tahun 2009. Mereka (para kreator filem ini) ternyata menangkap pengetahuan dunia supranatural tersebut. Mereka menerjemahkan khodam tersebut dengan gambaran sosok manusia laki-laki, yang datang dan pergi, muncul dan menghilang begitu cepat dan tak terduga. Pada keadaan dan situasi tertentu, sosok-sosok gaib khodam ini berubah wujud menjadi cahaya. Ini jelas sekali, idenya adalah meng-imajinasi-kan makhluk malaikat. Makhluk-makhluk gaib inilah yang akhirnya diketahui ngamping-ampingi (mendampingi, mengikuti, membayangi, dan menguntit) terus ke mana saja perginya Caleb, bocak cilik yang mendapatkan selembar kertas berisi kode-kode angka hasil tulisan Lucinda. Rupanya apa yang dulu dialami oleh Lucinda, kini menular dan dialami juga oleh Caleb. Logikanya perpindahan khodam itu adalah melalui kertas wasiat tersebut.
Adalah John Koestler ayah Caleb yang kemudian kepincut kepada angka-angka aneh pada kertas tersebut. Sebagai seorang profesor dan peneliti yang selalu bekerja dengan dasar ilmiah yang logis-empiris dia menemukan ada semacam sinkronisasi dari kode-kode angka itu dengan peristiwa-peristiwa tragedi besar yang telah pernah terjadi di dunia. Bahkan kemudian angka-angka yang merujuk kepada tanggal, bulan, tahun, dan titik-titik kordinat lokasi kejadian itu mampu dibuktikannya sendiri. Di tengah kesibukannya meneliti dan ingin membuktikan rahasia kode-kode mistik itu John Koestler sempat terjebak dan menyaksikan sebuah tragedi jatuhnya pesawat terbang yang memakan banyak korban persis di depan mata dan kepalanya sendiri. 
Shock dan rasa penasaran yang bercampur aduk semakin membuatnya ingin terus meneliti angka-angka nujum tersebut. Dia mulai merasa ada semacam tanggung jawab besar yang harus dilakukan setelah menyadari kebenaran dari angka-angka nujum itu. Bahwa dirinya mengetahui sesuatu tragedi bakal terjadi dan perlu bertindak. Setidaknya harus ada korban yang diselamatkan dari tragedi besar yang bakal terjadi.


Dari sinilah cerita terus bergerak. Profesor Koestler mulai dihantui rasa khawatir dan takut terhadap Caleb anak tercintanya yang sementara itu mulai sering didatangi makhluk-makhluk gaib yang selalu memberi bisikan di telinganya. Setelah mendapatkan informasi tentang latar belakang kehidupan Lucinda, ditambah lagi pertemuannya dengan Diana anak Lucinda, John Koestler semakin yakin bahwa deretan-deretan angka yang ditulis oleh penujum cilik itu adalah kode pengetahuan tentang tragedi yang telah dan bakal terjadi selama kurun waktu lima puluh tahun terakhir ini. Bahwa Lucinda ternyata seorang ahli nujum yang semua prediksinya telah dapat dibuktikan.


Apa yang dialami oleh Caleb ternyata juga dialami oleh Abby, anak Diana alias cucu si ahli nujum Lucinda. Abby bahkan lebih dulu mengalaminya. Hal ini bisa terjadi karena Abby adalah keturunan Lucinda. Sementara itu Diana sendiri yang keturunan langsung dari Lucinda justru tidak memiliki kemampuan tersebut. Barangkali karena sejak kecil Diana memang tidak pernah percaya tehadap Lucinda. Diana terlanjur menganggap ibunya itu sakit dan tidak waras. Bahkan sejak remaja ia mengikuti ayahnya meninggalkan Lucinda yang hidup sendiri. Beberapa peristiwa yang dibuktikan oleh John Koestler, Diana belum sepenuhnya percaya. Hingga nujum tentang kematiannya sendiri yang sering diucapkan oleh Lucinda, hanya sempat membuatnya stress belaka. Dan akhirnya Diana yang tidak bisa dicegah oleh John Koestler, harus menemui ajalnya secara tragis, tepat pada waktu dan TKP (posisi) yang telah diketahui benar oleh John Koestler.


Semua realitas yang ditemui oleh John Koestler, akhirnya membawa dirinya kepada kesadaran agamis yang selama ini menjadi kontradiktif di benaknya. Setelah dengan jelas dia ditunjukkan langsung oleh Abby di atas secarik kertas tentang matahari yang melahap bumi, hawa panas menyembur dan membakar bumi, John Koestler membuka file di laboratorium penelitiannya semua penemuan ilmiah mengenai orbit bumi yang mendekat ke matahari, serta semburan hawa panas dari matahari, sebuah prediksi ilmiah yang tak dapat disangkal lagi. Dengan berat hati dan tak mampu mengelak, dia harus melepaskan Caleb putra satu-satunya yang sudah lama ditinggal mati ibunya itu untuk dijemput bersama-sama dengan Abby oleh para makhluk gaib (malaikat) yang selama ini ternyata bukan mengganggu mereka, melainkan justru sebaliknya senantiasa melindungi Caleb dan Abby. Sepasang anak-anak yang masih polos dipilih untuk dijemput dan dibawa ke alam lain (kematian) dengan indah. Inilah gambaran kematian yang baik. Kematian yang indah. Kematian ideal yang dirindukan oleh orang-orang suci, para nabi, sufi, dan wali. Bukan kematian yang menyiksa dan menyakitkan melalui tragedi.


Tidak hanya sampai di situ. John Koestler akhirnya rela pulang ke rumah ayahnya yang seorang pastur. Ini benar-benar menjadi sebuah simbolisasi yang lengkap tentang kembalinya seorang anak yang selama ini menolak ke-iman-an. Hari itulah, ketika semua manusia di muka bumi ketakutan yang teramat hebat, berlari tunggang langgang berupaya menyelematkan diri, John Koestler dan keluarganya dengan ikhlas berangkulan berpelukan bersiap menerima sebuah peristiwa tragedi paling besar di jagat raya ini, kiamat! Bumi dihancurkan oleh api. Tak meninggalkan satu pun organisme yang tersisa.


Pada bagian akhir begitu indahnya ending dari filem ini dibuat, yakni diakhiri dengan gambaran panorama “alam lain” yang mempesona, yang barangkali inilah visualisasi dari alam surga. Sepasang bocah yang polos bersih, innocent, Caleb dan Abby, dengan suka cita berlarian menghampiri  sesosok pohon besar  yang rimbun dan indah. Pohon Kehidupan. Di sinilah ternyata sejatinya hidup baru sedang di mulai.


*) penulis mantan guru tinggal di Depok


***




Tidak ada komentar: